Pemilukada dalam Hukum Acara Pemilukada

Artikel Makalah

PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH DAN PROBLEMATIKA HUKUMNYA DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU/PEMILUKADA DI INDONESIA
Oleh ;
Dr. Widodo Ekatjahjana S.H.,M.Hum.
ABSTRACT

Voters list in local and general election is usually crucial problem of election system held by the Indonesian General Election Commission. Complicated regulation as well as practices of local and general election have described that those have arisen elections implementation that have broken values of democracy, honesty and justice, also responsibility of government/local government and the General Election Commission as ordered by the Constitution of 1945 and laws. Next, some laws relevant to local and general election in Indonesia are urgent to be revised, also about voters list regulation system and ID Card and/or Family Card system as a way to people in using their vote right.

Kata kunci : daftar pemilih, problematika hukum, pemilu/pemilkada

A. LATAR BELAKANG
Persoalan daftar pemilih dalam pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 yang lalu sempat menjadi polemik yang krusial dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Jutaan warga Negara Indonesia diduga telah kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum itu karena tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sementara di sisi lain, justru banyak warga pemilih yang ternyata terdaftar lebih dari satu kali di dalam DPT. Bahkan tak jarang juga ditemukan nama-nama orang yang sudah meninggal dan anak-anak juga terdaftar sebagai pemilih di dalam DPT.
Kekisruhan DPT ini apapun menunjukkan tidak saja kinerja penyelenggara Pemilu/Pemilukada yang lemah , akan tetapi juga kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah/Pemerintah Daerah sebagai penyedia data kependudukan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) tidak dijalankan dengan baik. Demikian juga halnya dengan Partai Politik. Partai Politik baru mempersoalkan masalah DPT ini setelah pemilihan umum selesai diselenggarakan. Mestinya, sejak awal tahapan penyusunan daftar pemilih, Partai Politik telah melakukan langkah pengawasan terhadap daftar pemilih sementara yang telah disusun oleh KPU. Bahkan bila perlu, Partai Politik melakukan langkah pengawasan dan evaluasi terhadap data kependudukan yang disediakan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah. Persoalannya menurut beberapa KPU Kabupaten/Kota, justru data kependudukan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah itu nampaknya yang menjadi sumber permasalahan kekisruhan daftar pemilih. Tidak jarang KPU-KPU Kabupaten/Kota itu memperoleh data kependudukan yang tidak valid, bahkan beberapa diantaranya juga tidak memperoleh data apa-apa dari Pemerintah Daerah, karena ternyata data yang diberikan dalam bentuk CD oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (melalui Dinas Kependudukan) itu kosong atau tidak ada datanya. Kondisi seperti jelas sangat memperihatinkan, karena justru perangkat Pemerintah sendiri yang terkesan kurang memiliki tanggungjawab yang baik dalam rangka menyediakan data kependudukan untuk penyelenggaraan pemilu/pemilukada di daerahnya. Apa sebenarnya yang menyebabkan permasalahan-permasalahan ini terjadi ? Tulisan kecil ini akan mengkajinya.

B. PEMBAHASAN
Komisi Pemilihan Umum yang seringkali disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan, bahwa KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota merupakan penyelenggara pemilihan umum/pemilihan umum kepala daerah di rpovinsi dan kabupaten/kota.
Pemilu/Pemilukada sebagaimana digariskan oleh peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu/Pemilukada dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tahapan penyelenggaraannya meliputi beberapa kegiatan :
(1) Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
(2) Pendaftaran peserta pemilu/pemilukada;
(3) Penetapan peserta pemilu/pemilukada;
(4) Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
(5) Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota;
(6) Masa kampanye;
(7) Masa tenang;
(8) Pemungutan dan penghitungan suara;
(9) Penetapan hasil Pemilu; dan
(10) Pengucapan sumpah/janji.
Dari beberapa tahapan kegiatan sebagaimana tersebut di atas, tahapan kegiatan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih merupakan tahapan kegiatan yang seringkali menimbulkan permasalahan (problematika). Banyak hal yang menjadi pemicu munculnya permasalahan-permasalahan ini, diantaranya adalah tidak tersedianya anggaran yang memadai yang dapat digunakan oleh KPU untuk kegiatan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, ketentuan peraturan perundang-undangan yang kurang baik, dan tidak adanya organ KPU Kabupaten/Kota yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggungjawab KPU Kabupaten/Kota dalam memutakhirkan data pemilih dan menyusun daftar pemilih sampai tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selama ini yang telah ditentukan oleh Undang-undang organ KPU hanya sebatas pada Panitia Pemungutan Suara atau disingkat PPS, yaitu panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan pemilu/pemilukada di tingkat desa/kelurahan.Idealnya organ KPU Kabupaten/Kota mestinya dibentuk sampai tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), atau paling tidak sekurang-kurangnya di tingkat Rukun Tetangga (RT).
Berkenaan dengan tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka menyusun daftar pemilih, Kabupaten/Kota idealnya tidak hanya mengandalkan data kependudukan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kependudukan saja. Sebab fakta mengungkapkan, banyak kasus, data kependudukan yang disediakan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak benar dan tidak valid. Terkesan data kependudukan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah itu disusun tidak dengan serius dan penuh tanggungjawab. Beberapa data kependudukan di Kota Probolinggo dan beberapa kabupaten di wilayah tapal kuda Jawa Timur misalnya, apabila diteliti datanya ‘kacau’ seperti pengalaman pada saat Pemilu 2009 yang lalu, karena itu KPU Kota Probolingoo dan KPU beberapa kabupaten lainnya tidak menggunakan data kependudukan yang berasal dari Dinas Kependudukan Pemerintah Daerahnya, melainkan data pemilih pada Pemilu sebelumnya. Fakta ini memperlihatkan, bahwa Pemerintah Daerah ternyata kurang memiliki tanggungjawab yang baik dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada di wilayahnya. Padahal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Pasal 32 telah mengamanatkan, bahwa :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan data kependudukan.
(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Apa yang menyebabkan tanggungjawab Pemerintah Daerah sangat kurang dalam rangka penyediaan data kependudukan untuk penyusunan daftar pemilih di daerahnya itu ? Apabila ditelaah/dikaji dari segi peraturan dan praktik, ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah ini. Pertama, rumusan norma hukum dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang terlalu ‘sumir’, atau dengan kata lain pembentuk Undang-undang telah membentuk ‘vague norm’ atau norma yang samar/kabur. Dalam rumusan norma tersebut, tidak jelas maknanya apa yang dimaksu dengan Pemerintah Daerah ‘menyediakan’ data kependudukan. Kata ‘menyediakan’ bukan merupakan pilihan kata yang tepat untuk rumusan norma ini. Sebab kata ‘menyediakan’ dapat memiliki berbagai macam arti. Menyediakan data kependudukan dapat berarti menyediakan apa adanya data kependudukan itu, walaupun datanya tidak valid atau tidak benar. Kata ‘menyediakan’ juga dapat berarti menyediakan data kependudukan yang telah direvisi tetapi masih memerlukan pengecekan ulang lagi. Kata ‘menyediakan’ dapat pula memiliki arti menyediakan data kependudukan yang sangat minim, yang mungkin tidak menyeluruh dan masih perlu ditambahi atau dibenahi, dan sebagainya. Jadi, rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 itu tidak saja sumir akan tetapi dapat ‘menyesatkan’, bahkan dapat disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya data kependudukan itu memang sengaja dirancang agar sebagian datanya tidak benar dengan maksud untuk menguntungkan pihak calon yang berasal dari pejabat bupati/walikota (incumbent) yang mencalonkan lagi misalnya.
Kedua, konstruksi norma hukum dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 itu bukan konstruksi norma hukum imperatif. Norma hukum imperatif adalah norma hukum yang dibuat pembentuk peraturan dengan tujuan untuk memerintah atau memaksakan penerapan/pelaksanaan norma itu. Jika pihak yang diperintah atau dikenai norma hukum itu tidak menjalankan perintah hukum itu dengan benar sesuai bunyi rumusan peraturan itu, maka ia dapat dikenai sanksi hukum karena melanggar perintah peraturan tersebut. Oleh sebab Pasal 32 ayat (1) itu tidak bersifat imperatif, maka Pemerintah Daerah dapat berbuat semaunya dalam menjalankan amanat peraturan perundang-undangan yang diberikan kepadanya.
Ketiga, realitas dan kepentingan pragmatik pihak Pemerintah Daerah yang menuntut agar Calon Kepala Daerah dari incumbent dimenangkan. Faktor ketiga ini nampaknya berkaitan dengan kultur politik birokrasi dan kesadaran yang kurang baik tentang penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang demokratis dan konstitusional, termasuk asas-asas pemilu/pemilukada yang jujur dan adil.
Keempat, tidak ada atau lemahnya kontrol warga masyarakat terhadap data kependudukan yang dibuat dan disediakan oleh Pemerintah Daerah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan ini, yaitu :
a. Pengetahuan dan pemahaman warga masyarakat yang kurang tentang arti pentingnya data kependudukan itu untuk penyusunan daftar pemilih;
b. Warga masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan/kebutuhan aktual atau riil terhadap data kependudukan yang dibuat dan disediakan oleh Pemerintah Daerah itu;
c. Instansi Pemerintah Daerah yang menangani administrasi data kependudukan itu sengaja tidak memberikan informasi atau menutup-nutupi data kependudukan yang sebenarnya;
d. Kinerja instansi Pemerintah Daerah yang menangani administrasi data kependudukan itu kurang baik sehingga data kependudukan di daerahnya disembunyikan, akibatnya warga masyarakat kesulitan memperoleh data/informasi kependudukan tersebut, dan sebagainya.
Kelima, lemahnya kontrol atau pengawasan dari partai politik. Sebagian besar partai politik masih belum menyadari betapa pentingnya data kependudukan dari Pihak Pemerintah Daerah itu. Partai Politik mestinya memiliki kepentingan itu untuk memenangkan partainya atau calonnya dalam pemilu/pemilukada di wilayahnya. Selama ini terdapat kecenderungan, Partai Politik bersikap pasif menunggu data pemilih yang disusun oleh KPU Kabupaten/Kota.
Keenam, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) belum terbentuk. Seperti yang kita ketahui, konflik antara Badan Pengawas Pemilu dengan KPU hingga pertengahan Bulan Maret 2010 ini belum usai dan belum diputus oleh Mahkamah Konstitusi, akibatnya Panwaslu belum dapat dibentuk. Padahal kegiatan pemutakhiran data pemilih dalam rangka penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk pemilukada di 18 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur misalnya, telah dilakukan oleh KPU. Ini berarti bahwa kegiatan pemutakhiran data pemilih oleh KPU Kabupaten/Kota yang ada sama sekali tidak dapat diawasi oleh Panwaslu, karena memang Panwaslunya belum terbentuk. Kondisi seperti ini sudah barang tentu dapat membuka peluang terjadinya penyimpangan atau kecurangan oleh karena paling tidak 3 (tiga) pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak dapat berfungsi efektif, yaitu :
a. Pasal 48 yang menyatakan, bahwa :
(1) Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dafta pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK dan PPS.
(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumumam daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN.
b. Pasal 49 yang menyatakan, bahwa :
(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan unsure kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan PPLN.
(2) KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan ta, PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
c. Pasal 264 yang menyatakan, bahwa :
Setiap anggota anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan denda paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (Enam Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 36.000.000,00 (Tiga Puluh Enam Juta Rupiah).
Apabila ditelaah, inti dari masalah belum terbentuknya Panwas, maka fungsi pengawasan terhadap setiap tahapan penyelenggaraan pemilukada, termasuk proses penyusunan daftar pemilih oleh KPU Kabupaten/Kota tidak dapat terkontrol lagi. Demikian juga ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak dapat berfungsi efektif, karena tidak adanya lembaga yang mengawasi proses penyusunan daftar pemilih itu. Ini problem hukum yang timbul sebagai akibat tidak adanya lembaga Panwas, sementara penyelenggaraan pemilukada di 18 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur misalnya harus tetap dijalankan sesuai jadwal pemilukada yang telah ditetapkan. Rezim jadwal penyelenggaraan pemilukada nampaknya berlaku sangat absolut (=tidak dapat ditunda/diundur), sehingga tanpa disadari implikasinya justru mengesampingkan persoalan-persoalan substansial yang berpengaruh terhadap hasil pemilukada yang berkualitas, yang demokratis, jujur dan berkeadilan.
Problem lain yang terkait dengan penyusunan daftar pemilih ini adalah ketentuan yang mengatur tentang daftar pemilih tambahan. Jadi nampaknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak hanya mengenal konsep hukum ‘Daftar Pemilih Sementara’ (DPS), dan ‘Daftar Pemilih Tetap’ (DPT), akan tetapi juga mengenal dan mengatur tentang ‘Daftar Pemilih Tambahan’. Perhatikan ketentuan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sebagai berikut :
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi :
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan haknya untuk memilih dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPS.
(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK.
Apabila ketentuan tersebut di atas dicermati, tidak jelas sebenarnya apa yang dimaksud dengan makna hukum ‘Daftar Pemilih Tetap’ dan ‘Daftar Pemilih Tambahan’. Logika hukumnya adalah, bagaimana mungkin kita dapat menentukan atau menetapkan, bahwa Daftar Pemilih yang telah disusun oleh KPU Kabupaten/Kota itu sebagai ‘Daftar Pemilih Tetap’ sementara ternyata juga /diatur oleh Undang-undang tentang ‘Daftar Pemilih Tambahan’ setelah penetapan ‘Daftar Pemilih Tetap’ tersebut ? Ketentuan ini nyata-nyata tidak logis dan tidak konsisten karena mengandung ketentuan atau pengertian hukum yang bersifat contradiction interminis. Beruntung ketentuan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 ini kemudian pada tahun 2009 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 102/PUU-VII/2009, sehingga ketentuan yang mengatur tentang adanya Daftar Pemilih Tambahan itu dihapuskan, termasuk pula Daftar Pemilih Tetap yang telah disusun oleh KPU.
Akan tetapi dalam praktik Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan ketentuan Pasal 111 itu ternyata memiliki implikasi hukum di masyarakat. Pertama, akhirnya DPT termasuk daftar Pemilih Tambahan tidak lagi dijadikan referensi utama bagi KPU dan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, pemilukada yang akan diselenggarakan di 18 Kabupaten di Jawa Timur, dan kurang lebih 200 ratus Kabupaten/Kota di Indonesia, tidak lagi harus menggunakan DPT dan Daftar Pemilih Tambahan sebagai dasar/landasan untuk menggunakan hak pilihnya di TPS-TPS. Cukup bagi warga masyarakat (pemilih) menunjukkan KTP dan/atau Kartu Keluarga (KK) untuk menyalurkan suaranya.
Implikasi kedua adalah dengan dibatalkannya ketentuan, bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS adalah yang terdaftar di DPT atau Daftar Pemilih Tambahan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pada satu sisi Putusan Mahkamah Konstitusi itu memberikan perlindungan terhadap ‘hak pilih’ warga Negara, akan tetapi di sisi lain menafiq-kan berbagai ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang berkenaan dengan kewajiban dan tanggungjawab KPU Kabupaten/Kota untuk menyusun daftar pemilih. Artinya, tidak ada lagi kewajiban untuk menyusun daftar pemilih yang harus dijalankan oleh KPU Kabupaten/Kota yang secara normatif mengikatnya. Kewajiban hukum itu gugur karena telah dibatalkannya ketentuan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan digunakannya KTP dan/atau Kartu Keluarga (KK) sebagai dasar/landasan atau bukti bagi pemilih bahwa ia memiliki hak untuk menggunakan hak pilihnya di TPS. Jadi bagi KPU dan masyarakat pemilih, DPT dan Daftar Pemilih Tambahan tidak lagi menjadi sebuah dokumen yuridis untuk menetapkan apakah seseorang itu memiliki ‘hak pilih’ atau tidak, melainkan hanya sekedar sebagai dokumen administratif belaka.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dalam praktiknya dengan demikian juga mempengaruhi efektivitas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang mengatur tentang penyusunan daftar pemilih, mulai dari data kependudukan, daftar pemilih, pemutakhiran data pemilih, penyusunan daftar pemilih sementara, penyusunan daftar pemilih tetap, penyusunan daftar pemilih bagi pemilih di luar negeri, rekapitulasi daftar pemilih tetap dan kegiatan pengawasan serta penyelesaian perselisihan dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih tetap. Kehadiran KTP atau KK pemilih, di satu sisi memang dapat menutupi kekurangan kinerja dan keterbatasan KPU dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih, akan tetapi ini juga sekaligus dapat menjadi sarana untuk mengukur kinerja KPU dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih, di samping juga sebenarnya dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dan penggunaan KTP dan/atau KK itu, KPU dapat terlepas dari jeratan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang menyatakan, bahwa:
‘Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (Dua Belas Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 24.000.000,00 (Dua Puluh Empat Juta Rupiah).’

Akan tetapi, dalam rangka memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu/pemilukada di Indonesia ke depan sistem penggunaan KTP dan/atau KK sebagai bukti untuk penggunaan hak pilih warga masyarakat pemilih sebenarnya tidak cukup, dan seharusnya diperbaiki/dibenahi. Sebab, dalam situasi dan kondisi pengelolaan administrasi kependudukan (adminduk) yang lemah seperti sekarang ini, yang menjadi soal atau problematikanya kemudian adalah, bagaimana dan siapa yang harus bertanggungjawab dan dapat memberikan jaminan kepastian, bahwa seseorang itu tidak akan memiliki lebih dari satu KTP atau KK, atau KTP dan KK nya itu asli dan sah (original) ? Perlu pemikiran dan pengkajian yang lebih mendalam tentang sistem penggunaan hak pilih alternatif di luar KTP dan/atau KK dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada di Indonesia, karena di samping masih terbuka celah bagi timbulnya penyimpangan, juga sistem ini disadari atau tidak telah menggusur peran dan tanggungjawab KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu/pemilukada untuk menyusun daftar pemilih, termasuk menafiq-kan tugas dan tanggungjawab Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam menyediakan data kependudukan yang lebih akurat/valid dan lebih baik sebagaimana diperintahkan peraturan perundang-undangan.

C. PENUTUP
Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat dikemukakan, bahwa persoalan daftar pemilih dalam menghasilkan pemilu/pemilukada yang demokratis dan berkualitas merupakan persoalan yang krusial sekaligus sangat penting untuk mendapatkan perhatian. Pengaturan dan praktik penyusunan daftar pemilih yang tidak baik, bukan saja menjadi pintu problematika hukum yang complicated dan akut dalam kegiatan penyelenggaraan pemilu/pemilukada di Indonesia, akan tetapi juga dapat menjadi pintu krusial yang dapat merusak nilai-nilai demokrasi, kejujuran dan keadilan serta tanggungjawab penyelenggara pemilu/pemilukada dan pemerintah/pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Ke depan mesti segera terpikirkan dan diambil langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi implikasi negatif Putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan penyusunan daftar pemilih dan sistem penggunaan hak pilih yang lebih baik dan lebih tepat, sehingga di satu sisi ada segi perlindungan terhadap hak pilih rakyat, dan di sisi lain juga ada segi pencegahan terhadap timbulnya berbagai bentuk penyimpangan atau kecurangan dalam pemilu/pemilukada yang diselenggarakan.



DAFTAR PUSTAKA

Widodo Ekatjahjana, 2009, Bunga Rampai Masalah Hukum Pemilu di Indonesia, Jember : Fakultas Hukum Universitas Jember

_________________, 2009, Konsep Hukum Pemilu, Dasar dan Asas-Asas Hukum yang Melandasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 1, November 2009, Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember

_________________, 2009, Identifikasi dan Rumusan Permasalahan Hukum (Undang-Undang Pemilu Legislatif), makalah Diskusi Panel diselenggarakan oleh KPU Kota Probolinggo, tanggal 23 Desember 2009

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009