Pemilukada dalam Hukum Acara Pemilukada

Minggu, 22 Agustus 2010

Deskripsi & Silabi Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK)

DESKRIPSI SINGKAT

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (HAMK)

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK)
Bobot Matakuliah : 2 SKS
Diprogramkan : Semester Gasal dan genap

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK) sebagai hukum formil Hukum Tata Negara/Hukum Konstitusi perlu diberikan kepada mahasiswa agar memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang sistem peradilan tata negara yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Matakuliah HAMK ini secara garis besar memiliki materi muatan tentang sejarah dan konsep dasar HAMK, kedudukan dan fungsi HAMK dalam sistem peradilan Mahkamah Konstitusi, karakteristik dan asas-asas HAMK, pengaturan HAMK Umum dan Khusus dalam Undang-Undang dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, meliputi : Hukum Acara Perkara Pengujian Undang-undang, Hukum Acara Perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (SKKLN), Hukum Acara Perkara Pembubaran Partai Politik, Hukum Acara Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Pilpres dan Pemilukada dan Hukum Acara untuk Memutus pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.


SILABI HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK)
Bobot Matakuliah : 2 SKS
Diprogramkan : Semester Gasal dan genap


A. PERISTILAHAN, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP

1. Peristilahan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
2. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
3. Ruang Lingkup Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
4. Fungsi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

B. KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Landasan dan Dimensi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
2. Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
3. Perbedaan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dengan Hukum Acara
Lainnya di Lapangan Hukum Publik dan Hukum Privat
4. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Umum (Menurut Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi)
5. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Khusus (Menurut Peraturan Mahkamah
Konstitusi/PMK)

C. HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD 1945

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara, Penjadwalan dan Panggilan Sidang
6. Pemeriksaan (Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan)
7. Pembuktian
8. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
9. Putusan

D. HUKUM ACARA PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN
KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA
1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara, Penjadwalan dan Panggilan Sidang
6. Pemeriksaan (Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan)
7. Pembuktian
8. Putusan Sela
9. Penarikan Kembali Permohonan
10. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
11. Putusan

E. HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
6. Persidangan
7. Pembuktian
8. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
9. Putusan

F. HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH (PHPU-KADA)

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
6. Persidangan
7. Pembuktian
8. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
9. Putusan

G. HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
6. Persidangan
7. Pembuktian
8. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
9. Putusan

H. HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Permohonan dan Legal Standing (Kedudukan Hukum)
4. Tata Cara Pengajuan Permohonan
5. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
6. Persidangan
7. Pembuktian
8. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
9. Putusan

I. HUKUM ACARA MEMUTUS PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN PELANGGARAN HUKUM PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

1. Pengantar Umum
2. Subjectum Litis (Para Pihak) dan Objectum Litis (Objek Perkara)
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan
4. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
5. Persidangan
6. Pembuktian
7. Penghentian Proses Pemeriksaan
8. Rapat Permusyawaratan Hakim
9. Putusan

J. PERKEMBANGAN PENEGAKAN HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

1. Upaya (Ijtihad) Hakim Konstitusi Menemukan Hukum dan Keadilan
Substantif – Gerakan Hukum Progesif dan Masalah Ultra Petita
2. Upaya untuk Mengembangkan Kewenangan Konstitusional Mahkamah
Konstitusi: Constitutional Question dan Constitutional Complaint
3. Masalah Pengaturan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Diatur dalam
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ataukah Undang-Undang
dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi ?
5. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi
6. Implikasi Pembatalan Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi Terhadap
Perundang-undangan di Indonesia
7. Hakim Ad-Hoc Mahkamah Konstitusi dan Keterbatasan Penanganan Perkara
di Mahkamah Konstitusi
8. Pengajuan Permohonan melalui Elektronik dan Persidangan Jarak Jauh
(Teleconference)


Jember, 10 Agustus 2010
ttd
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum.

Pengantar Awal Mata Kuliah Hukum Pemilu

Pokok-Pokok Materi Perkuliahan :

I. PERISTILAHAN MATA KULIAH ‘PEMILU’

Beberapa materi yang dapat diberikan kepada mahasiswa secara garis besar diikhtisarkan sebagai berikut :
a. Benarkah mata kuliah ini diberi nama mata kuliah PEMILU ? Sebab mata kuliah Pemilu ini ternyata juga diberikan atau menjadi objek studi para mahasiswa yang menggeluti Ilmu Politik. Mata Kuliah ini kurang tepat apabila hanya diberi nama mata kuliah PEMILU, karena :
- Nama mata kuliah Pemilu terkesan lebih dekat ke arah disiplin ilmu Politik daripada ilmu hukumnya;
- Substansi atau materi muatannya bersifat ekstra-yuridis. Padahal, maksud dan tujuan diberikannya mata kuliah ini kepada para mahasiswa di Fakultas Hukum adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para mahasiswa agar mengetahui dan memahami aspek-aspek hukum berkenaan dengan pemilu. Ada aspek hukum keperdataan terkait dengan gugatan peserta pemilu yang merasa dirugikan; Ada aspek hukum kepidanaan terkait dengan adanya dugaan tindak pidana (delik) pemilu; Ada aspek hukum ketatanegaraan terkait dengan pengaturan kelembagaan dalam pemilu, pengaturan wewenang dan tata hubungan antara lembaga-lembaga pemilu yang ada, sistem penyelenggaraannya, pengawasannya, penetapan hasilnya, perlindungan hak-hak rakyat, sengketa pemilu, keabsahan pemilu dan sebagainya.

b. Direkomendasikan supaya ada penegasan dan nampak ilmu hukumnya : nama mata kuliah PEMILU diganti dengan nama mata kuliah ‘Hukum dan Pemilu’.

c. Barangkali muncul pertanyaan, mengapa mata kuliah ini tidak langsung diberikan nama mata kuliah Hukum Pemilu saja ? Jika, diberikan nama Hukum Pemilu, terkesan seolah-olah mata kuliah ini merupakan disiplin ilmu hukum yang mandiri, seperti halnya disiplin ilmu hukum keperdataan, hukum kepidanaan, hukum ketatanegaraan, hukum internasional dan sebagainya. Padahal mata kuliah ini hanya merupakan bagian dari materi muatan Ilmu Hukum Ketatanegaraan. Dengan demikian, ilmu Hukum dan Politik ini berinduk pada Ilmu Hukum Ketatanegaraan.


II. PENGERTIAN DAN HUBUNGAN ‘HUKUM DAN PEMILU’

a. Pengertian Hukum

Materi yang dapat diberikan kepada para mahasiswa secara garis besar diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Definisi hukum menurut Ahli Hukum ==> apa yang dimaksud hukum itu oleh berbagai pakar hukum ? Definisi mana yang lebih tepat digunakan sebagai rumusan hukum dalam mata kuliah ‘Hukum dan Politik’ ini ?
2. Bentuk hukum ada 2 macam, yaitu : tertulis (written/geschereven) dan tidak tertulis (unwritten/ongeschreven). Yang tertulis lazimnya berbentuk peraturan perundang-undangan; sedangkan yang tidak tertulis adalah asas-asas hukum dan pemilu yang berkembang dan diakui dalam kehidupan masyarakat, seperti :
- asas demokrasi
- asas keadilan
- asas langsung
- asas kejujuran
- asas keterbukaan, dsb nya.

b. Pengertian Pemilu

Materi yang dapat diberikan kepada para mahasiswa secara garis besar diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Definisi Menurut Ahli Hukum
2. Definisi Menurut Ahli Politik
3. Definisi Menurut Peraturan Perundang-undangan
4. Definisi mana yang lebih lengkap dari ketiga-tiganya ?

c. Hubungan Hukum dan Pemilu

Materi yang dapat diberikan kepada para mahasiswa secara garis besar diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Mengapa hukum diperlukan dalam kegiatan Pemilu ?

- Alasan filosofis ==> untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemerdekaan/kebebasan, persamaan di depan hukum, dsb nya. Sejarah terbentuknya pemerintahan pada masa itu dari pemerintahan tirani sampai pada pemerintahan demokrasi untuk menetapkan pejabat-pejabat pemerintahan pada masa itu. Hukum berfungsi sebagai ‘rule of the game’ untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut

- Alasan sosiologis ==> berbagai ragam kepentingan dari berbagai kelompok atau golongan-golongan yang berbeda di dalam masyarakat, menghendaki aturan hukum sebagai pedoman untuk mewujudkan ragam kepentingan tersebut. Jika aturan hukum tersebut diingkari/dilawan, maka yang terjadi adalah kondisi ‘chaos’ atau disharmoni yang mengganggu kehidupan masyarakat.

- Alasan yuridis ==> Konstitusi atau UUD sebagai sumber hukum formal yang tertinggi telah dengan tegas mengatur dan memerintahkannya untuk dilaksanakan dalam rangka mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis. Dimana dapat ditemukan dalam UUD 1945 ?

2. Hubungan hukum dengan pemilu ==> Pemilu memerlukan hukum sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemerdekaan/kebebasan, persamaan dan terpilihnya pejabat-pejabat pemerintahan negara yang demokratis sesuai dengan aturan hukum yang telah ditetapkan.


III. LETAK STUDI HUKUM DAN PEMILU DALAM ILMU HUKUM

Studi tentang Hukum dan Pemilu merupakan studi hukum yang letaknya ada di lapangan hukum ketatanegaraan. Hukum dan Pemilu merupakan salah satu bagian dari materi muatan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi negara, hubungan antar perlengkapan negara termasuk pembentukan dan cara pengisian jabatan-jabatan pada alat-alat perlengkapan negara, kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya. Pemilu merupakan salah satu cara untuk mengisi jabatan-jabatan pada alat-alat perlengkapan negara (seperti pengisian keanggotaan DPR/MPR di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia), di samping melalui cara-cara pengangkatan, penunjukkan, dan sebagainya.

Walaupun Studi Hukum dan Pemilu berada dalam lapangan hukum ketatanegaraan, materi muatan Hukum dan Pemilu ini mengandung juga aspek hukum keperdataan dan hukum kepidanaan. Ini disebabkan karena memang hukum ketatanegaraan sebagai hukum publik mengatasi semua bidang ilmu hukum, termasuk hukum kepidanaan dan hukum keperdataan. Dari hukum ketatanegaraan materi tentang konstitusi atau UUD sebagai sumber hukum formal tertinggi dalam negara mengalir. Hukum kepidanaan dan hukum keperdataan bersumber dari konstitusi atau UUD itu.

IV. PEMILU DALAM NEGARA DEMOKRASI
a. Pengertian Demokrasi
b. Pengertian Negara Demokrasi
c. Hubungan Antara Demokrasi dan Pemilu
d. Pemilu sebagai Sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat Ataukah Hanya Untuk memilih Pejabat Pemerintahan/Negara ?


V. HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS
a. Kedaulatan Hukum ataukah Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) yang Penting dalam Pemilu ?
b. Fungsi Hukum dalam Pemilu (Fungsi Pengaturan, Fungsi Pengawasan, Fungsi Penerapan Sanksi dan Fungsi Pemberi Keabsahan)
c. Sistem Pemilihan Umum (Jenis Pemilu, Asas-asas Pemilu dan Kriteria Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis)


VI. IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
a. Peraturan Perundang-undangan Pemilu di Indonesia
b. Sistem Penyelenggaraan Pemilu (KPU dan KPUD) di Indonesia
c. Pengawasan dan Pemantauan Pemilu
d. Apakah Pilkades, Pilkada, Pileg dan Pilpres dapat dikategorikan sebagai Pemilu ? (Pengertian Pilkades, Pilkada, Pileg dan Pilpres ? Apakah Undang-Undang mengelompokkan kesemuanya sebagai Konsep Pemilu ? Apa makna kata ‘umum’ dalam istilah ‘pemilihan umum’ itu ? Siapakah yang masuk dalam kategori atau kualifikasi ‘umum’ itu ? Apakah anak-anak di bawah umur juga orang yang kehilangan ingatan masuk dalam kategori ‘umum’ itu ?)
e. Banyaknya Golput dalam Pemilu apakah merupakan Gambaran Kegagalan Hukum dalam Menjalankan Fungsinya ?

KONSEP HUKUM PEMILU, DASAR DAN ASAS-ASAS HUKUM YANG MELANDASI PENYELENGGARAAN PEMILU

Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum.

ABSTRACT

Concept of general election should cover definitions and classification or criteria of general election. It should be clearly formulated in legal norms (rechtsregel). General election concept should be implemented base on legal principles. Regulation and implementation basis of general election should base on 3 (three) fundamental values covers rule of law principle, democracy principle and nasionalism principle. Next, the third fundamental values would derive some legal principles that have a function as a basis of legal norm created.

Kata Kunci : hukum pemilu, dasar, asas-asas hukum


A. PENDAHULUAN
Demokrasi perwakilan yang dikembangkan pada zaman modern sekarang ini sudah menjadi obsesi di banyak negara. Demokrasi kini telah dipandang sebagai bentuk cara penyelenggaraan pemerintahan yang terbaik oleh setiap negara yang mengklaim dan menyebut dirinya modern. Setiap negara berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa pemerintah negara tersebut menganut sistem politik demokrasi, atau sekurang-kurangnya tengah berproses seperti itu.
Demokrasi yang berlangsung di setiap negara-bangsa tidaklah dapat terlaksana secara uniform (seragam), karena dalam banyak hal pemahaman dan penerapan demokrasi dipengaruhi oleh ideologi atau falsafah hidup negara-bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, Bagir Manan mengemukakan, demokrasi itu merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu bentuk atau hasil penciptaan.
Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemiliahan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Henry Campbell Black mengemukakan : General election is an election held in the state at large. A regularly recurring election to select officers to serve after the expiration of the full terms of their predecessors. Dalam Black’s Law Dictionary, ditemukan klasifikasi election menjadi 2 (dua) macam, yaitu general election dan special election.
Berdasarkan konsep dasar pemilu sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakikatnya konsep dasar pemilu itu dapat dilihat pada pengertian-pengertian yang diberikan, dan juga dapat dilihat pada kriteria atau klasifikasi yang dilakukan terhadapnya.
Dalam praktik ketatanegaraan di era reformasi sampai sekarang, ada beberapa jenis pemilihan umum, yaitu :
(1) Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah;
(2) Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan
(3) Pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah seperti, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Di luar ketiga macam atau jenis pemilihan umum itu, ditemukan dalam praktik ketatanegaraan atau pemerintahan bermacam-macam kegiatan pemilihan yang melibatkan rakyat banyak, seperti pemilihan kepala desa, pemilihan kepala dusun, dan jenis pemilihan lain yang dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana macam-macam atau jenis pemilu itu seharusnya diatur dan diselenggarakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tulisan ini secara normatif akan mengkaji beberapa hal yang relevan dengan konsep hukum pemilu, dasar atau asas-asas hukum (rechtsbegiselen) yang melandasi pengaturan dan penyelenggaraannya.



B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : Bagaimana konsep hukum pemilu, dasar dan asas-asas hukum yang melandasi kegiatan penyelenggaraan pemilu di Indonesia ?


C. PEMBAHASAN

A.D. Belifante mengemukakan, bahwa agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi, maka pengorganisasiannya harus memenuhi beberapa aturan dasar (grondregels). Salah satu daripadanya adalah bahwa tidak ada seorang pun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkan atau bahwa pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol. C.F. Strong mengemukakan, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantees the souvereignty of the people. Jadi, negara konstitusional pada saat sekarang ini harus didasarkan pada sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada sistem perwakilan dinamakan ’representative government’. Representative government dapat dirumuskan sebagai :
A form of government where the citizens exercise the same right to make political decision but through representative chosen by them and responsible to them through the process of free election.

Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut :
(1) Pemerintahan yang bertanggungjawab;
(2) Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinyu;
(3) Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem dwi-partai, multi-partai). Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara masyarakat umumnya dan pemimpin-pemimpinnya;
(4) Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat;
(5) Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan keadilan.
Henry B. Mayo mengemukakan, bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai (values), yaitu :
(1) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga;
(2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;
(3) Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;
(4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
(5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku;
(6) Menjamin tegaknya keadilan.
Pemilihan umum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, paling tidak mesti didasari oleh beberapa hal, yaitu :
(1) Adanya peraturan perundang-undangan yang memadai sebagai landasan bagi penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, fair, jujur dan adil;
(2) Pemilu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
(3) Pemilu diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum yang berwenang, bersifat independen, tidak memihak atau netral, transparan, adil dan bertanggungjawab;
(4) Adanya lembaga pengawas dan/atau lembaga pemantau yang dibentuk secara independen, yang berfungsi untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap penyelenggaraan pemilihan umum agar dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan legal (sah) berdasarkan hukum dan keadilan;
(5) Adanya lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak, yang khusus dibentuk untuk menangani masalah pelanggaran, kecurangan dan tindakan-tindakan lainnya yang melanggar nilai-nilai demokrasi, kejujuran, norma-norma hukum dan keadilan, termasuk memutuskan keabsahan hasil pemilihan umum yang diselenggarakan;
(6) Adanya lembaga penegak hukum yang khusus bertugas untuk mengawal dan menegakkan norma-norma hukum pemilu agar ditaati oleh peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pengawas atau pemantau pemilu dan masyarakat luas lainnya.
Dasar penyelenggaraan pemilu yang ideal bagi suatu negara paling tidak bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan (3) Nasionalisme. Dasar negara hukum menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya :
(1) peraturan perundang-undangan yang baik, adil dan demokratis;
(2) perlindungan yang memadai atas terlaksananya hak memilih dan dipilih berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) pengawasan dan penerapan sanksi hukum yang memadai;
(4) peradilan pemilu yang independen dan tidak memihak;
(5) legitimasi dan keabsahan hasil pemilu.
Dasar demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, diantaranya adalah :
(1) penyelenggaraan pemilu didasarkan pada aturan hukum yang demokratis;
(2) lembaga penyelenggara pemilu yang baik, tidak memihak dan demokratis;
(3) lembaga pengawas atau pemantau penyelenggaraan pemilu yang memadai;
(4) partisipasi dan pengawasan rakyat (publik) yang baik atas seluruh rangkaian kegiatan pemilu;
(5) fungsi kontrol media massa yang baik terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilu;
(6) hak memilih dan dipilih dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dasar nasionalisme menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya adalah :
(1) penyelenggaraan pemilu dalam rangka menjaga dan memelihara keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) pemilu dilaksanakan untuk mengokohkan semangat persatuan dan kesatuan dalam perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan, perbedaan golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya;
(3) memilih wakil-wakil rakyat, pimpinan-pimpinan lembaga negara atau pimpinan-pimpinan pemerintahan yang tidak didasarkan pada sentimen kedaerahan, suku bangsa (ras), agama, keturunan dan sebagainya, yang dapat mengancam semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang majemuk; dan sebagainya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan, bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rumusan ini mengandung 4 (empat) unsur konsep pemilihan umum di Indonesia, yaitu : (1) pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat; (2) pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil; (3) pemilu dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) pemilu dilaksanakan dengan berdasar pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan rumusan yang demikian, maka dalam konsep hukum pemilu itu ada beberapa hal yang pokok yang menunjuk pada fungsi instrumental, landasan dan asas pemilu. Pertama, fungsi instrumental pemilu sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi). Fungsi ini relevan dengan cara pengisian jabatan-jabatan publik atau jabatan kenegaraan/pemerintahan. Maurice Duverger mengemukakan ada beberapa cara untuk menempatkan pejabat negara (pangreh), yaitu : (1) dengan cara yang otokratis, meliputi beberapa cara diantaranya, perebutan kekuasaan (misal coup d’etat, revolusi, dsb nya); (2) keturunan; (3) kooptasi atau pengangkatan/penunjukkan; (4) pengundian; (5) cara yang demokratis melalui pemilihan; (6) cara campuran antara otokratis dan demokratis, misalnya sebagian pejabat pangreh dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, sebagian lagi diangkat atau ditunjuk, atau berdasarkan sistem garis keturunan, dan sebagainya. Maurice Duverger memberikan contoh untuk cara campuran ini dengan sistem ’juxtaposition’ (=pengisian jabatan pangreh melalui cara penunjukkan/pengangkatan dan cara pemilihan umum, dsb nya). Praktik ketatanegaraan di Indonesia memperlihat pola campuran dalam pengisian jabatan-jabatan (pangreh), dan belum terdapat pengaturan tentang kriteria hukum yang digunakan, bilamana suatu jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh) itu harus diisi dengan cara pemilihan umum atau cara penunjukkan/pengangkatan misalnya.
Kedua, landasan pemilu idiil dan konstitusionil pemilu adalah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila 1 Juni 1945 yang digali oleh Bung Karno atau apabila diperas menjadi Trisila terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio- demokrasi dan Ketuhanan, atau apabila diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu ‘Gotong-Royong’. Jadi, apabila pemilu di Indonesia itu diselenggarakan dengan berdasar pada Pancasila, maka pemilu itu harus bertumpu pada prinsip ‘Gotong-Royong’. Dalam konsep ‘gotong-royong’ ada kerukunan, ada semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Gotong-royong merupakan suata paham yang anti-individualisme, anti-liberalisme, dan anti-otoritarianisme atau hegemoni negara. Prinsip gotong-royong yang pada saat sekarang ini, ketika era globalisasi dan pasar bebas bergulir, atau yang dikatakan oleh Fukuyama sebagai era neo-liberalisme, nyaris terabaikan dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat pangreh di Indonesia tidak lagi diselenggarakan berdasarkan ideologi gotong-royong. Pemilu lebih dipandang sebagai ‘hajatan’ individu daripada hajatan bersama (gotong-royong), oleh karena itu pemilu kemudian menjadi ajang bagi kepentingan pribadi (individu) untuk meraih kedudukan atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Dan, bersama itupula berkembang proses liberalisasi dan kapitalisasi politik yang mendorong pemilu untuk diselenggarakan menurut mekanisme ‘pasar bebas’ yang liberal, dan proses kapitalisasi politik dengan berbagai modus, diantaranya money politic untuk ‘membeli’ atau ‘menjual’ dukungan suara pemilih (voters), praktik jual-beli suara dengan organ penyelenggara atau pengawas pemilu atau saksi-saksi, dan sebagainya.
Ketiga, asas pemilu yang terdiri dari asas demokrasi, asas langsung, asas umum, asas bebas, asas jujur dan adil. Pemilu yang demokratis berarti pemilu diselenggarakan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang tidak di-hegemoni kekuasaan negara, karena memang rakyatlah yang berkuasa (memiliki kedaulatan). Rakyatlah yang memutuskan siapa-siapa saja yang akan duduk dalam jabatan-jabatan pangreh itu. Kekuasaan rakyat yang besar itu hingga kemudian digambarkan dalam adagium vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam praktik, asas ini nyaris ditinggalkan. Suara rakyat (vox populi) yang semestinya adalah suara Tuhan (vox dei), suara Nur Ilahi, suara hati nurani dan kebenaran dinodai dengan praktik ‘jual beli suara’ dan berbagai modus kapitalisasi politik lainnya. Pemilih (voters) ‘menjual’ suaranya, sedangkan yang mencalonkan (=calon pejabat pangreh) ‘membeli’ suara rakyat (voters) itu. Maka terjadilah apa yang disebut dengan ‘transaksi politik’ yang dilakukan sesuai dengan mekanisme dan hukum pasar (penjual dan pembeli). Suara rakyat yang tidak lain adalah suara Tuhan tak ayal lagi ‘diperjualbelikan’. Bila sudah demikian, maka tidak perlu heran sebenarnya, bila bangsa Indonesia yang dikarunia sumberdaya dan kekayaan alam yang tak terbilang banyaknya, serta dikaruniai bumi yang subur (gemah ripah loh jinawi) dan memiliki banyak tambang, masih saja rakyatnya sengsara, miskin, dan korupsinya merajalela. Ditambah lagi bencana alam, penyakit dan berbagai malapetaka yang seolah-olah tiada henti-hentinya. Seluruh bangsa ini mesti kembali menyadari secara utuh tentang hakikat dasar demokrasi dan hakikat dasar vox populi vox dei dalam pemilu.
Asas langsung sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum langsung dilakukan oleh rakyat (voters). Rakyatlah yang langsung memilih para pejabat pangreh yang akan duduk dalam jabatan-jabatannya (ambts) melalui pemilihan umum. Secara teoretis, ada 2 (dua) cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemilihan. Pertama melalui apa yang disebut dengan pemilihan langsung, dimana rakyat (voters) memilih secara langsung mereka yang akan didudukkan dalam jabatan pangreh. Kedua, melalui sistem pemilihan tidak langsung, dimana wakil-wakil rakyat yang telah dipilih diberikan mandat untuk memilih pejabat pangrehnya. Cara kedua ini lebih mengarah pada representative system atau sistem perwakilan. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, Presiden pernah dipilih oleh MPR, dimana keanggotaan MPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Demikian juga pemilihan Gubernur dan Bupati pada masa Orde Baru yang dipilih oleh DPRD.
Asas umum sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan seluruh rakyat (voters) yang berstatus sebagai warga negara. Apa sebenarnya makna ‘umum’ itu ? Pertanyaan ini juga terkait dengan apa sebenarnya makna ‘umum’ dalam terminologi ‘pemilihan umum’. Apakah yang dimaksud ‘umum’ itu artinya lebih dari satu ? Atau jumlahnya tertentu, misalnya 1000 orang, satu wilayah desa, satu wilayah kabupaten atau provinsi ? Ataukah pengertian ‘umum’ itu menunjuk seluruh rakyat (voters) di wilayah Indonesia ? Kriteria ‘umum’ ini harus jelas, sebab jika tidak, maka kegiatan-kegiatan pemilihan ketua Rukun Warga (RW) atau ketua Rukun Tetangga (RT), atau pemilihan Ketua Yayasan dan Koperasi misalnya, dapat saja disebut dengan pemilihan umum, karena melibatkan rakyat banyak atau lebih dari seorang. Dapat saja, kriteria ‘umum’ itu didasarkan pada bidang atau lapangan kegiatan dalam negara, yang lazimnya terbagi dalam lapangan publik (atau lapangan pemerintahan) atau ketatanegaraan) dan lapangan privat. Kriteria mana yang harus digunakan untuk memberikan makna ‘umum’ pada asas ‘umum’ dan terminologi ‘pemilihan umum’ harus ditentukan secara tegas oleh pembentuk undang-undang. Jika tidak, maka implementasi pengaturan dan pelaksanaan pemilihan umum itu akan kehilangan orientasinya, dan terkesan kacau atau dalam bahasa Latinnya disebut ad absurdum. Contoh pengaturan pemilu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut :
‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.’

Jadi menurut ketentuan ini, pemilihan umum itu hanya dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan pangreh meliputi :
(1) DPR;
(2) DPD;
(3) Presiden dan Wakil Presiden;
(4) DPRD.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa jabatan pangreh seperti ‘Kepala Daerah’ (= Gubernur, Bupati dan Walikota) dan ‘Kepala Desa’ yang pengisian jabatannnya dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat di daerah atau di desanya itu, tidak termasuk dalam rumusan konsep hukum pemilu seperti dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ? Bukankah, seperti pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota penyelenggara pemilihannya adalah Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini akibat yang timbul dalam pengaturan pemilu, karena sejak awal konsep atau kriteria ‘umum’ dalam pengertian asas ‘umum’ atau dalam pengertian ‘pemilihan umum’ tidak jelas.
Selanjutnya, asas bebas sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan tanpa adanya tekanan, paksaan, intimidasi dan bentuk pengekangan lainnya terhadap pemilih (voters) dalam memilih calon-calonnya yang akan didudukkan dalam jabatan pangreh. Kebebasan dalam menentukan pilihan ini harus dihormati, dan karena itupula hukum harus melindunginya. Asas bebas tidak berarti bebas memilih atau tidak memilih (netral atau masyarakat lazim menyebutnya golongan putih/golput). Asas bebas tidak berarti bebas semaunya. Dalam bingkai tanggungjawab setiap warga negara dalam bidang hukum dan pemerintahan, termasuk tanggungjawab untuk turut berperanserta dalam membentuk pemerintahan negara yang lebih baik ke depan, maka seluruh rakyat pemilih (voters) harus menentukan pilihannya untuk memilih. Tidak boleh rakyat pemilih (voters) kemudian bersikap tidak memilih dengan dalih ’semua calon yang ada tidak baik’ atau itu merupakan wujud dari ’hak asasi-nya’ yang harus dihormati dan dilindungi negara. Dasar negara kita adalah Pancasila yang tidak lain adalah Gotong-Royong, maka pemilu sebagai salah satu cara untuk membentuk pemerintahan harus pula didasarkan pada prinsip ”Gotong Royong”. Dalam prinsip Gotong Royong ini tersirat semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan dan semangat kerukunan, bukan semangat kebebasan (liberal) atau individualisme. Bangsa Indonesia secara ideologis dengan tegas menolak paham liberalisme dan individualisme.
Asas rahasia sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan dengan melindungi ’kerahasiaan’ pilihan pemilih (voters). Asas rahasia ini dimaksudkan agar ada penghormatan terhadap privasi dan hak pilih voters sekaligus perlindungan dari kemungkinan timbulnya tekanan, ancaman, intimidasi dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pelaksanaan asas bebas voters dalam memilih calon-calonnya.
Asas jujur dan adil sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum yang dilakukan itu, baik oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, rakyat pemilih (voters), lembaga pengawas atau pemantau, dan aparat penegak hukum termasuk lembaga peradilannya, bertumpu pada nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Akhirnya, sejauhmana asas-asas hukum dalam pelaksanaan pemilu itu dapat direalisasikan, tergantung pada apakah fungsi asas hukum (rechtsbeginsel atau legal principle) itu benar-benar digunakan ataukah tidak dalam praktiknya. Fungsi asas-asas hukum itu dalam pemilu adalah :
(1) Bagi pembuat undang-undang (wetgever), asas-asas hukum merupakan pedoman dalam pembuatan undang-undang (wetgeving) – peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
(2) Bagi penyelenggara pemilu, asas-asas hukum itu merupakan ’rechtsidee’ yang hendak diwujudkan;
(3) Bagi lembaga pengawas atau pemantau pemilu, asas-asas hukum itu merupakan batu uji sekaligus dasar untuk mengontrol pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
(4) Bagi peserta pemilu, asas-asas hukum itu dapat menjadi alasan atau dasar untuk menyelaraskan dan mengontrol atau menggugat pelaksanaan pemilu ke lembaga yang berwenang atau ke pengadilan;
(5) Bagi hakim (rechter), asas-asas hukum menolong untuk mencermatkan interpretasi dan membantu dalam pengenaan analogi serta mengarahkan dalam memberikan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan.
Asas-asas hukum itu memang bukan peraturan hukum -- een rechtsbeginselen is niet een rechtsregel, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang melandasinya – het recht is echter niet te begrijpen zonder die beginselen – vunderend principe. Mestinya juga dipahami, bahwa asas-asas hukum itu merupakan pengarah umum bagi ’positivering’ hukum oleh pembuat undang-undang dan hakim dalam mewujudkan tendensi etis – ethische tendezen, algemene richtlijnen voor positivering van het recht door wetgever en rechter. Jadi dalam konteks pelaksanaan pemilihan umum, asas-asas hukum kendatipun bukan rechtsregel, akan tetapi ia merupakan kaidah dalam pemilu yang menganjurkan wat rechtens behoort te zijn – apa yang seharusnya menurut hukum itu.

D. PENUTUP
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa konsep dasar pemilu yang meliputi pengertian-pengertian hukum tentang pemilu, juga klasifikasi atau kriteria yang diberikan pada pemilu idealnya dirumuskan dengan jelas dalam peraturan hukumnya (rechtsregel). Pemilu juga seharusnya diatur dan diselenggarakan bertumpu pada dasar atau asas-asas hukum yang melandasinya. Dasar pengaturan dan penyelenggaraan pemilu idealnya bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan (3) Nasionalisme. Tiga dasar pengaturan dan penyelenggaraan pemilu ini tidak saja menjadi landasan bagi kegiatan pemilu, akan tetapi juga dapat menderivasi atau menurunkan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum pemilu dan penyelenggaraannya di Indonesia.














DAFTAR PUSTAKA

A.D. Belifante, Begiselen van Nederlands Staatsrecht, Alphen aan de Rijn, N. Samson NV, 1969

A.S.S. Tambunan, Pemilu di Indonesia dan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Binacipta, Bandung, 1994

Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, makalah pada lokakarya Pengajar Pancasila di lingkungan Universitas Padjadjaran, Bandung, 1994

C.F. Strong, Modern Political Constitutions, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publishing Co, 1991

I Gede Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000

International Commission of Jurist, Aspect of the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok, 1965

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998

P.B. Cliteur en M.A. Loth, Rechtsfilosofie van de Twintingste eeuw, Gouda Quint bv (S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon), Arnhem, 1992

S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1986

Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, 1997

Widodo Ekatjahjana, Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pustaka Sutra, Bandung, 2008

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA DALAM HUKUM ACARA PEMILUKADA DI INDONESIA

Oleh :
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum.

ABSTRACT
Constitutional Court has a procedural law used to decide lawsuits of local general election dispute in Indonesia. This procedural is regulated in : (1) the Procedural Law of Constitutional Court (in the Law of Number 24 of 2003) as ‘lex generalis’; (2) the Procedural Law of Local General Election Dispute Settlement as (in the Contitutional Court Regulation of Number 15 of 2008) as ‘lex specialis’. The procedural law of local general election has a main function to enforce the substantive law, namely positive general election law relating to provision to take legal standing, legal application procedure, lawsuit register, court session, legal decision of court, etc.

Key word : perselisihan, pemilukada, hukum acara


A. PENDAHULUAN
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia.
Selanjutnya, dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudian membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, di samping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada, juga terdapat Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008) yang menjadi landasan hukum yang bersifat khusus bagi Mahkamah Konstitusi. Bagaimana sebenarnya Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada itu mengatur mekanisme penyelesaian sengketa atau perselisihan hasil pemilukada di Indonesia ? Tulisan kecil ini akan membahasnya.


B. PEMBAHASAN
Sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd). Secara teoretikal, sengketa hukum (rechtsstrijd) sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Dalil ini melandasi pemikiran, bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan pada suatu tindakan menimbang-nimbang (afweging, penimbangan) kepentingan individual dan/atau kolektif. Dalil ini antara lain dipertahankan oleh pengikut-pengikut dari suatu aliran penting dalam Teori Hukum, yakni Interessenjurisprudenz. Menurut pandangan aliran ini, dengan aturan-aturan hukum, kepentingan-kepentingan dilindungi. Pada ketidakjelasan dalam hubungan dengan penerapan aturan-aturan hukum terhadap sengketa-sengketa konkret, maka hakim karena itu akan harus menelusuri apa yang menjadi kepentingan-kepentingan di situ. Bila berdasarkan metode interpretasi teleologikal sudah dipastikan, bahwa kaidah hukum yang bersangkutan hanya mengabdi satu tujuan atau kepentingan tunggal, atau bahwa harus dipandang hanya satu tujuan atau kepentingan yang mempunyai makna yang menentukan (doorslaggevende betekenis), maka, jika penerapan dari kaidah hukum dalam suatu kejadian konkret mengabdi kepentingan yang dimaksudkan mau dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum itu, aturan itu juga akan selalu diterapkan. Namun dapat terjadi, ada sebuah kaidah tunggal yang mengabdi pada beberapa kepentingan yang berbeda, dan tidak jelas kepentingan mana yang mengatasi yang lainnya (atau yang harus didahulukan ketimbang yang lain, prevaleert), atau bahwa beberapa kaidah hukum dapat diterapkan pada suatu kejadian konkret, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Maka timbullah pertanyaan kepentingan-kepentingan yang mana itu dan bagaimana kepentingan-kepentingan tersebut harus saling dipertimbangkan yang satu terhadap yang lain. Pertanyaannya adalah apakah suatu tindakan menimbang-nimbang secara rasional (rationele afweging) mungkin dan apakah hal menimbang-nimbang ini dapat dikontrol. Hakim sayogianya berusaha dengan cara berargumentasi membuat agar hal menimbang-nimbang itu dapat dipahami (inzichtelijk maken). Dari praktik hukum tampak kadang-kadang secara eksplisit hakim menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan. Orang mengatakan juga bahwa hakim melakukan hal ini dengan bantuan apa yang disebut dengan metode timbangan (weegschaal methode). Argumen-argumen yang diajukan untuk membela suatu kepentingan tertentu dan argumen-argumen yang diajukan untuk melawan kepentingan-kepentingan tertentu, atau argumen-argumen yang mendukung satu kepentingan atau kepentingan yang lain, diletakkan pada timbangan. Argumen-argumen itu akan mendorong jarum penunjuk ke satu sisi tertentu.
Sebagai bagian dari sengketa kepentingan (belangenstrijd), perselisihan hasil pemilukada dalam hukum positif Indonesia dapat diselesaikan secara yudisial di bawah kekuasaan peradilan. Peradilan yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan hasil pemilu/pemilukada di Indonesia merupakan peradilan kontensius – contentieuze atau eigenlijke rechtspraak, atau yuridiksi kontensius (contentieuze jurisdictie), bukan peradilan volunter (voluntaire jurisdictie). Sistem peradilan ini menghasilkan keputusan yudisial yang disebut dengan vonnis; Sedangkan peradilan volunter menghasilkan keputusan yudisial yang disebut dengan ketetapan/penetapan.
Peradilan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia sebagai peradilan kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif Indonesia berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi, terutama semenjak tahun 2008, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) melalui Pasal 236C perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur, bahwa :
”penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama sejak UU ini diundangkan”.

Oleh karena ketentuan itulah, maka kemudian pada 29 Oktober 2008 Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara PEMILUKADA yang sedang ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung tetap dilanjutkan.
Untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, terkait dengan penyelesaian secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan hasil pemilukada ini, ada 2 (dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum Acara yang menjadi landasan hukumnya, yaitu :
(1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex generalis); dan
(2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Pemilukada sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara ini merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis).
Menurut Utrecht, hukum acara atau hukum formil itu menunjuk cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil dipertahankan dan diselenggarakan. Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum.
Dalam kepustakaan hukum, hukum acara itu dikenal pula dengan istilah hukum ajektifa (adjectiva law) sebagai pasangan dari hukum substantif (substantive law). Mengenai hukum acara ini Van Kan mengemukakan :
‘Het formeel of procesrecht heeft daarom slechts afgeleide betekenis, het dient allen om aan de bestaande materiele normen hare nakoming te verzekeren, of anders gezegd, om de bevoegdheden, die daaruit voortvloeien, te beschermen of voor haar krenking een genoegdoening te verschaffen. Het zijn niet, gelijk de materieelrechtelijke voorschriften, levensnormen, die des mensen doen an laten beheersen en zijn leven richten… Zo wordt ieders leven met een net van rechtsvoorschriften enplichten omspannen, vindt ieder in de rechtsvoorschriften het dagelijkse richtsnoer voor zijn gedragingen. Die missen de processuele voorschriften. Men kan door het leven gaan met hen weinig of in het geheel niet in aanraking komen. Zij vinden slechts onder bepaalde omstandigheden toepassing en dan alleen tot instandhouding van de materiele voorschriften of bevoegdheden, die daaruit voortvloeien. Levensplichten leggen zij in het geheel niet op.’

Jadi, pentingnya hukum formil atau hukum acara bergantung pada adanya serta pentingnya hukum materiil. Tugas hukum formil hanya menjamin hukum materiil ditaati orang. Dengan kata lain, melindungi wewenang yang oleh hukum diberikan kepada yang berhak atau memaksa pelanggar mengganti kerugian atau mengembalikan benda yang diambilnya dengan tiada persetujuan pihak lain. Hukum materiil terdiri dari atas kaidah-kaidah yang menentukan isi hidupnya manusia. Dalam himpunan itu setiap orang mendapat pedoman hidupnya sehari-hari. Hukum acara tidak terdiri atas pedoman hidup. Melainkan orang yang senantiasa berkelakuan baik sekali-kali tidak akan bertemu dengan hukum acara itu. Hukum acara hanya dijalankan dalam keadaan istimewa, yaitu dalam hal hukum materiil atau wewenang yang oleh hukum materiil diberikan kepada yang berhak perlu dipertahankan. Hukum acara tidak memuat kewajiban sosial yang ada dalam penghidupan setiap manusia.
Hukum acara yang dikenal pula sebagai hukum proses mengatur penegakan hukum yang materinya telah ditentukan dalam hukum materiilnya. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa keseluruhan hukum acara hanya berisikan hukum tentang pelaksanaan teknik beracara. Dalam hukum acara juga ditemukan hukum materiil yang berisikan hak-hak para pihak yang beracara.
Hukum acara sebagai hukum formal mengandung pula unsur materiil mapun foral. Unsur materiil hukum acara dalam kepustakaan hukum (Belanda) disebut dengan ‘actienrechts’ (subtative law of procedure), merupakan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang terjadi karena beracara, yaitu tentang :
(1) terjadi dan hapusnya tuntutan hak atau gugatan atau permohonan;
(2) upaya-upaya hukum untuk menangkis atau menyangkal;
(3) upaya-upaya untuk menegakkan hukum atau hak;
(4) pengaruh tindakan-tindakan prosesuil;
(5) pembuktian;
(6) menjatuhkan putusan.
Unsur formal hukum acara mengatur tentang cara yang harus diperhatikan dalam beracara, yakni mengatur tentang caranya menggunakan wewenang seperti ditentukan dalam unsur materiil. Kedua unsur (materiil dan formal) hukum acara itu pada prinsipnya mengatur pelaksanaan penyelesaian perkara (sengketa).
Di dalam Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada telah diatur beberapa ketentuan yang mengatur tentang cara atau mekanisme dalam beracara, diantaranya adalah :
(1) ketentuan tentang Para Pihak dan Objek Perselisihan;
(2) ketentuan tentang tata cara pengajuan permohonan;
(3) ketentuan tentang registrasi perkara dan penjadwalan sidang;
(4) ketentuan tentang persidangan;
(5) ketentuan tentang alat bukti;
(6) ketentuan tentang Rapat Permusyawaratan Hakim; dan
(7) ketentuan tentang putusan.

1. Para pihak dan objek perselisihan
Para pihak yang dimaksud di sini adalah para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil pemilukada, yaitu pasangan calon sebagai pihak Pemohon, dan KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai pihak Termohon. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara hukumnya. Dengan perkataan lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi.
Legal standing – personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan – standing to sue. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat tentang standing to sue adalah, bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan.
Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat atau Pemohon mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 dengan nampaknya sudah dengan sangat jelas menentukan bahwa para pihak yang memiliki legal standing adalah : Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Pemohon, dan KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sebagai Termohon. Sedangkan, Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada. Lazimnya dalam praktik Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi memeriksa tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Contoh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menilai, bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena :
a. Pemohon adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang oleh Termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur, telah ditetapkan sebagai Nomor Urut Satu;
b. Permohonan yang diajukan Pemohon adalah keberatan terhadap Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008;
c. Menurut Pemohon hasil rekapitulasi perhitungan suara yang dilakukan oleh Termohon dengan hasil sebagaimana disebutkan terjadi karena terdapat kekeliruan penghitungan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.



2. Tata Cara Pengajuan Permohonan
Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 menentukan, bahwa permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada diajukan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon (KPU) menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan yang diajukan setelah melewati tenggat sebagaimana dimaksud tidak dapat diregistrasi.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan itu juga harus memuat sekurang-kurangnya:
a. Identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada,
b. Uraian yang jelas mengenai:
1. Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2. Permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3. Permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon. Permohonan tersebut diajukan disertai alat bukti.

3. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
Apabila permohonan yang diajukan oleh Pemohon itu sudah memenuhi persyaratan dan kelengkapan permohonan, maka selanjutnya Panitera mencatat permohonan yang sudah memenuhi syarat dan lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Setelah semua diperbaiki, Panitera mengirim salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada Termohon, disertai dengan pemberitahuan hari sidang pertama dan permintaan keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak ini dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan tersebut diregistrasi.

4. Persidangan
Sidang untuk memeriksa permohonan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dengan sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi atau Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Proses pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penjelasan permohonan dan perbaikan bila dipandang perlu;
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan pihak terkait apabila ada;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference). Selain itu, untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi juga dapat menetapkan putusan sela atau putusan provisi (provisionele vonnis) yang terkait dengan penghitungan suara ulang. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan (objectum litis) yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.

(8) Alat Bukti
Pembuktian merupakan kegiatan yang amat penting sekali dalam rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara hukum. Oleh karena itu hampir di setiap Hukum Acara apapun, ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Dalam Hukum Acara, biasanya aspek pembuktian terkait dengan alat-alat bukti. Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa:
a. Keterangan para pihak;
b. Surat atau tulisan;
c. Keterangan saksi;
d. Keterangan ahli;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), c. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota, f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan/atau dokumen tertulis lainnya.
Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah. Alat bukti tersebut dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut secara jelas dapat dilihat pada Pasal 10 PMK Nomor 15 Tahun 2008.
Sebagai salah satu unsur dalam alat bukti, saksi dalam perselisihan hasil pemilukada terdiri dari:
a. saksi resmi pemilukada; dan
b. saksi pemantau pemilikada.
Berkiatan dengan saksi ini, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, antara lain: panitia pengawas Pemilihan Umum atau Kepolisian. Saksi tersebut adalah saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan.

(9) Rapat Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan dipandang cukup. Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah tersebut tidak mencapai mufakat bulat, pengambilan putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal pengambilan putusan dengan suara terbanyak itu ternyata tidak tercapai, maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim yang menentukan.

(10) Putusan
Putusan mengenai perselisihan hasil Pemilukada diucapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Sementara Amar Putusan dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 PMK Nomor 15 Tahun 2008;
b. permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
c. permohonan ditolak bila permohonan tidak beralasan.
Seperti halnya pada putusan atas perkara yang lain yang menjadi kewenangannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara perselisihan hasil pemilukada ini bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan Mahkamah Konstitusi itu kemudian disampaikan kepada Pemohon, Termohon, DPRD setempat, pemerintah dan pihak Terkait, serta terhadap KPU/KIP kabupaten/kota, DPRD setempat, dan pemerintah wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi itu.

C. PENUTUP
Demikianlah berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd), dan sengketa hukum (rechtsstrijd) ini sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd).
Mahkamah Konstitusi memiliki Hukum Acara yang digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilukada di Indonesia. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada ini diatur dalam : (1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003; dan (2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat umum (lex generalis), dan Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat khusus (lex specialis).




DAFTAR PUSTAKA

Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary, (St. Paul: West Geroup), 1999
E. Utrecht/ Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan), 1983
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press), 2005
Pontier, J.A., Penemuan Hukum (Rechtsvinding), diterjemahkan B. Arief Sidharta, (Bandung : Jendela Mas Pustaka), 2008
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.




BIODATA PENULIS
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum., lahir di Jember 1 Mei 1971. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember sejak tahun 1994 hingga sekarang. Pernah menjadi Staf Ahli Anggota DPR-RI (2006-2008). Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (2009-2014). Buku-buku yang pernah diterbitkan : 1. Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia; 2. Lembaga Kepresidenan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2008); 3. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya (2008); 4. Hukum Kewarganegaraan Indonesia (2008); 5. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunannya (2008); 6. Bunga Rampai Masalah Hukum Pemilu di Indonesia (2009).