Pemilukada dalam Hukum Acara Pemilukada

Minggu, 22 Agustus 2010

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA DALAM HUKUM ACARA PEMILUKADA DI INDONESIA

Oleh :
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum.

ABSTRACT
Constitutional Court has a procedural law used to decide lawsuits of local general election dispute in Indonesia. This procedural is regulated in : (1) the Procedural Law of Constitutional Court (in the Law of Number 24 of 2003) as ‘lex generalis’; (2) the Procedural Law of Local General Election Dispute Settlement as (in the Contitutional Court Regulation of Number 15 of 2008) as ‘lex specialis’. The procedural law of local general election has a main function to enforce the substantive law, namely positive general election law relating to provision to take legal standing, legal application procedure, lawsuit register, court session, legal decision of court, etc.

Key word : perselisihan, pemilukada, hukum acara


A. PENDAHULUAN
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia.
Selanjutnya, dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudian membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, di samping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada, juga terdapat Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008) yang menjadi landasan hukum yang bersifat khusus bagi Mahkamah Konstitusi. Bagaimana sebenarnya Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada itu mengatur mekanisme penyelesaian sengketa atau perselisihan hasil pemilukada di Indonesia ? Tulisan kecil ini akan membahasnya.


B. PEMBAHASAN
Sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd). Secara teoretikal, sengketa hukum (rechtsstrijd) sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Dalil ini melandasi pemikiran, bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan pada suatu tindakan menimbang-nimbang (afweging, penimbangan) kepentingan individual dan/atau kolektif. Dalil ini antara lain dipertahankan oleh pengikut-pengikut dari suatu aliran penting dalam Teori Hukum, yakni Interessenjurisprudenz. Menurut pandangan aliran ini, dengan aturan-aturan hukum, kepentingan-kepentingan dilindungi. Pada ketidakjelasan dalam hubungan dengan penerapan aturan-aturan hukum terhadap sengketa-sengketa konkret, maka hakim karena itu akan harus menelusuri apa yang menjadi kepentingan-kepentingan di situ. Bila berdasarkan metode interpretasi teleologikal sudah dipastikan, bahwa kaidah hukum yang bersangkutan hanya mengabdi satu tujuan atau kepentingan tunggal, atau bahwa harus dipandang hanya satu tujuan atau kepentingan yang mempunyai makna yang menentukan (doorslaggevende betekenis), maka, jika penerapan dari kaidah hukum dalam suatu kejadian konkret mengabdi kepentingan yang dimaksudkan mau dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum itu, aturan itu juga akan selalu diterapkan. Namun dapat terjadi, ada sebuah kaidah tunggal yang mengabdi pada beberapa kepentingan yang berbeda, dan tidak jelas kepentingan mana yang mengatasi yang lainnya (atau yang harus didahulukan ketimbang yang lain, prevaleert), atau bahwa beberapa kaidah hukum dapat diterapkan pada suatu kejadian konkret, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Maka timbullah pertanyaan kepentingan-kepentingan yang mana itu dan bagaimana kepentingan-kepentingan tersebut harus saling dipertimbangkan yang satu terhadap yang lain. Pertanyaannya adalah apakah suatu tindakan menimbang-nimbang secara rasional (rationele afweging) mungkin dan apakah hal menimbang-nimbang ini dapat dikontrol. Hakim sayogianya berusaha dengan cara berargumentasi membuat agar hal menimbang-nimbang itu dapat dipahami (inzichtelijk maken). Dari praktik hukum tampak kadang-kadang secara eksplisit hakim menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan. Orang mengatakan juga bahwa hakim melakukan hal ini dengan bantuan apa yang disebut dengan metode timbangan (weegschaal methode). Argumen-argumen yang diajukan untuk membela suatu kepentingan tertentu dan argumen-argumen yang diajukan untuk melawan kepentingan-kepentingan tertentu, atau argumen-argumen yang mendukung satu kepentingan atau kepentingan yang lain, diletakkan pada timbangan. Argumen-argumen itu akan mendorong jarum penunjuk ke satu sisi tertentu.
Sebagai bagian dari sengketa kepentingan (belangenstrijd), perselisihan hasil pemilukada dalam hukum positif Indonesia dapat diselesaikan secara yudisial di bawah kekuasaan peradilan. Peradilan yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan hasil pemilu/pemilukada di Indonesia merupakan peradilan kontensius – contentieuze atau eigenlijke rechtspraak, atau yuridiksi kontensius (contentieuze jurisdictie), bukan peradilan volunter (voluntaire jurisdictie). Sistem peradilan ini menghasilkan keputusan yudisial yang disebut dengan vonnis; Sedangkan peradilan volunter menghasilkan keputusan yudisial yang disebut dengan ketetapan/penetapan.
Peradilan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia sebagai peradilan kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif Indonesia berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi, terutama semenjak tahun 2008, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) melalui Pasal 236C perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur, bahwa :
”penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama sejak UU ini diundangkan”.

Oleh karena ketentuan itulah, maka kemudian pada 29 Oktober 2008 Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara PEMILUKADA yang sedang ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung tetap dilanjutkan.
Untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, terkait dengan penyelesaian secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan hasil pemilukada ini, ada 2 (dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum Acara yang menjadi landasan hukumnya, yaitu :
(1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex generalis); dan
(2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Pemilukada sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara ini merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis).
Menurut Utrecht, hukum acara atau hukum formil itu menunjuk cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil dipertahankan dan diselenggarakan. Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum.
Dalam kepustakaan hukum, hukum acara itu dikenal pula dengan istilah hukum ajektifa (adjectiva law) sebagai pasangan dari hukum substantif (substantive law). Mengenai hukum acara ini Van Kan mengemukakan :
‘Het formeel of procesrecht heeft daarom slechts afgeleide betekenis, het dient allen om aan de bestaande materiele normen hare nakoming te verzekeren, of anders gezegd, om de bevoegdheden, die daaruit voortvloeien, te beschermen of voor haar krenking een genoegdoening te verschaffen. Het zijn niet, gelijk de materieelrechtelijke voorschriften, levensnormen, die des mensen doen an laten beheersen en zijn leven richten… Zo wordt ieders leven met een net van rechtsvoorschriften enplichten omspannen, vindt ieder in de rechtsvoorschriften het dagelijkse richtsnoer voor zijn gedragingen. Die missen de processuele voorschriften. Men kan door het leven gaan met hen weinig of in het geheel niet in aanraking komen. Zij vinden slechts onder bepaalde omstandigheden toepassing en dan alleen tot instandhouding van de materiele voorschriften of bevoegdheden, die daaruit voortvloeien. Levensplichten leggen zij in het geheel niet op.’

Jadi, pentingnya hukum formil atau hukum acara bergantung pada adanya serta pentingnya hukum materiil. Tugas hukum formil hanya menjamin hukum materiil ditaati orang. Dengan kata lain, melindungi wewenang yang oleh hukum diberikan kepada yang berhak atau memaksa pelanggar mengganti kerugian atau mengembalikan benda yang diambilnya dengan tiada persetujuan pihak lain. Hukum materiil terdiri dari atas kaidah-kaidah yang menentukan isi hidupnya manusia. Dalam himpunan itu setiap orang mendapat pedoman hidupnya sehari-hari. Hukum acara tidak terdiri atas pedoman hidup. Melainkan orang yang senantiasa berkelakuan baik sekali-kali tidak akan bertemu dengan hukum acara itu. Hukum acara hanya dijalankan dalam keadaan istimewa, yaitu dalam hal hukum materiil atau wewenang yang oleh hukum materiil diberikan kepada yang berhak perlu dipertahankan. Hukum acara tidak memuat kewajiban sosial yang ada dalam penghidupan setiap manusia.
Hukum acara yang dikenal pula sebagai hukum proses mengatur penegakan hukum yang materinya telah ditentukan dalam hukum materiilnya. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa keseluruhan hukum acara hanya berisikan hukum tentang pelaksanaan teknik beracara. Dalam hukum acara juga ditemukan hukum materiil yang berisikan hak-hak para pihak yang beracara.
Hukum acara sebagai hukum formal mengandung pula unsur materiil mapun foral. Unsur materiil hukum acara dalam kepustakaan hukum (Belanda) disebut dengan ‘actienrechts’ (subtative law of procedure), merupakan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang terjadi karena beracara, yaitu tentang :
(1) terjadi dan hapusnya tuntutan hak atau gugatan atau permohonan;
(2) upaya-upaya hukum untuk menangkis atau menyangkal;
(3) upaya-upaya untuk menegakkan hukum atau hak;
(4) pengaruh tindakan-tindakan prosesuil;
(5) pembuktian;
(6) menjatuhkan putusan.
Unsur formal hukum acara mengatur tentang cara yang harus diperhatikan dalam beracara, yakni mengatur tentang caranya menggunakan wewenang seperti ditentukan dalam unsur materiil. Kedua unsur (materiil dan formal) hukum acara itu pada prinsipnya mengatur pelaksanaan penyelesaian perkara (sengketa).
Di dalam Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada telah diatur beberapa ketentuan yang mengatur tentang cara atau mekanisme dalam beracara, diantaranya adalah :
(1) ketentuan tentang Para Pihak dan Objek Perselisihan;
(2) ketentuan tentang tata cara pengajuan permohonan;
(3) ketentuan tentang registrasi perkara dan penjadwalan sidang;
(4) ketentuan tentang persidangan;
(5) ketentuan tentang alat bukti;
(6) ketentuan tentang Rapat Permusyawaratan Hakim; dan
(7) ketentuan tentang putusan.

1. Para pihak dan objek perselisihan
Para pihak yang dimaksud di sini adalah para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil pemilukada, yaitu pasangan calon sebagai pihak Pemohon, dan KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai pihak Termohon. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara hukumnya. Dengan perkataan lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi.
Legal standing – personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan – standing to sue. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat tentang standing to sue adalah, bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan.
Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat atau Pemohon mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 dengan nampaknya sudah dengan sangat jelas menentukan bahwa para pihak yang memiliki legal standing adalah : Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Pemohon, dan KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sebagai Termohon. Sedangkan, Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada. Lazimnya dalam praktik Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi memeriksa tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Contoh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menilai, bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena :
a. Pemohon adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang oleh Termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur, telah ditetapkan sebagai Nomor Urut Satu;
b. Permohonan yang diajukan Pemohon adalah keberatan terhadap Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008;
c. Menurut Pemohon hasil rekapitulasi perhitungan suara yang dilakukan oleh Termohon dengan hasil sebagaimana disebutkan terjadi karena terdapat kekeliruan penghitungan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.



2. Tata Cara Pengajuan Permohonan
Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 menentukan, bahwa permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada diajukan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon (KPU) menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan yang diajukan setelah melewati tenggat sebagaimana dimaksud tidak dapat diregistrasi.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan itu juga harus memuat sekurang-kurangnya:
a. Identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada,
b. Uraian yang jelas mengenai:
1. Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2. Permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3. Permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon. Permohonan tersebut diajukan disertai alat bukti.

3. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
Apabila permohonan yang diajukan oleh Pemohon itu sudah memenuhi persyaratan dan kelengkapan permohonan, maka selanjutnya Panitera mencatat permohonan yang sudah memenuhi syarat dan lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Setelah semua diperbaiki, Panitera mengirim salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada Termohon, disertai dengan pemberitahuan hari sidang pertama dan permintaan keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak ini dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan tersebut diregistrasi.

4. Persidangan
Sidang untuk memeriksa permohonan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dengan sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi atau Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Proses pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penjelasan permohonan dan perbaikan bila dipandang perlu;
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan pihak terkait apabila ada;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference). Selain itu, untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi juga dapat menetapkan putusan sela atau putusan provisi (provisionele vonnis) yang terkait dengan penghitungan suara ulang. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan (objectum litis) yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.

(8) Alat Bukti
Pembuktian merupakan kegiatan yang amat penting sekali dalam rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara hukum. Oleh karena itu hampir di setiap Hukum Acara apapun, ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Dalam Hukum Acara, biasanya aspek pembuktian terkait dengan alat-alat bukti. Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa:
a. Keterangan para pihak;
b. Surat atau tulisan;
c. Keterangan saksi;
d. Keterangan ahli;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), c. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota, f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan/atau dokumen tertulis lainnya.
Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah. Alat bukti tersebut dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut secara jelas dapat dilihat pada Pasal 10 PMK Nomor 15 Tahun 2008.
Sebagai salah satu unsur dalam alat bukti, saksi dalam perselisihan hasil pemilukada terdiri dari:
a. saksi resmi pemilukada; dan
b. saksi pemantau pemilikada.
Berkiatan dengan saksi ini, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, antara lain: panitia pengawas Pemilihan Umum atau Kepolisian. Saksi tersebut adalah saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan.

(9) Rapat Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan dipandang cukup. Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah tersebut tidak mencapai mufakat bulat, pengambilan putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal pengambilan putusan dengan suara terbanyak itu ternyata tidak tercapai, maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim yang menentukan.

(10) Putusan
Putusan mengenai perselisihan hasil Pemilukada diucapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Sementara Amar Putusan dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 PMK Nomor 15 Tahun 2008;
b. permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
c. permohonan ditolak bila permohonan tidak beralasan.
Seperti halnya pada putusan atas perkara yang lain yang menjadi kewenangannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara perselisihan hasil pemilukada ini bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan Mahkamah Konstitusi itu kemudian disampaikan kepada Pemohon, Termohon, DPRD setempat, pemerintah dan pihak Terkait, serta terhadap KPU/KIP kabupaten/kota, DPRD setempat, dan pemerintah wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi itu.

C. PENUTUP
Demikianlah berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd), dan sengketa hukum (rechtsstrijd) ini sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd).
Mahkamah Konstitusi memiliki Hukum Acara yang digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilukada di Indonesia. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada ini diatur dalam : (1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003; dan (2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat umum (lex generalis), dan Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat khusus (lex specialis).




DAFTAR PUSTAKA

Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary, (St. Paul: West Geroup), 1999
E. Utrecht/ Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan), 1983
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press), 2005
Pontier, J.A., Penemuan Hukum (Rechtsvinding), diterjemahkan B. Arief Sidharta, (Bandung : Jendela Mas Pustaka), 2008
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.




BIODATA PENULIS
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,M.Hum., lahir di Jember 1 Mei 1971. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember sejak tahun 1994 hingga sekarang. Pernah menjadi Staf Ahli Anggota DPR-RI (2006-2008). Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (2009-2014). Buku-buku yang pernah diterbitkan : 1. Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia; 2. Lembaga Kepresidenan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2008); 3. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya (2008); 4. Hukum Kewarganegaraan Indonesia (2008); 5. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunannya (2008); 6. Bunga Rampai Masalah Hukum Pemilu di Indonesia (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar